Suku Bima (Mbojo) Nusa Tenggara Barat Indonesia - Bima Memiliki Nama suku yaitu suku (MBOJO) suku bima terletak di pulau sumbawa provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Suku ini memiliki gaya khas tersendiri, suku bima mayoritas berpenduduk islam, Dan Dinamakan tanah sultan Mbojo.
Untuk lebih jeleas silahkan baca selanjutnya di bawah mengenai ke unikan suku ini.
Untuk lebih jeleas silahkan baca selanjutnya di bawah mengenai ke unikan suku ini.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara kepulauan dengan
berbagai keanekaragaman suku ditiap-tiap daerah yang telah diwariskan dari
nenek moyang ke generasi-generasi berikutnya, salah satunya adalah provinsi
Nusa Tenggara Barat. Disana terdapat pulau Sumbawa dan Lombok yaitu dua pulau
terbesar yang berada di Nusa Tenggara Barat. Selain kaya akan sumber daya
alamnya, provinsi Nusa Tenggara Barat ini memiliki pesona alam yang sangat
indah dan menarik untuk dikunjungi. Namun, pada makalah ini saya akan membahas
suku yang berada di pulau Sumbawa yaitu suku Bima dengan berbagai
keanekaragaman budaya dan tradisi yang sangat kental dan sudah turun temurun
hingga saat ini.
B. Tujuan
Pembahasan Suku Bima
Tujuan pembuatan makalah ini umumnya
dilakukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Budaya Dasar dan memberikan
informasi yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia mengenai kebudayaan suku
Bima. Terlebih khususnya untuk saya memperoleh informasi mengenai sejarah
singkat suku Bima yang letaknya berada di provinsi Nusa Tenggara Barat, tentang
filosofi kehidupan suku Bima, tardisi yang ada di Bima berupa upacara adat dan
tatacara kehidupannya serta nilai-nilai yang dapat kita ambil dari tradisi suku
Bima ini.
BAB II
SEJARAH / ASAL-USUL
A. Asal-Usul Kehidupan Suku Bima
Suku Bima adalah salah satu suku yang
berada di wilayah kabupaten Bima provinsi Nusa Tenggara Barat. Suku yang berada
di Kepulauan Sumbawa ini sudah ada sejak tanggal 5 Juli 1640 M sejak zaman
kerajaan Majapahit. Terdapat dua sebutan untuk orang Bima, yakni Dou Donggo
(orang Donggo) merupakan sebutan bagi masyarakat Bima yang pertama kali dan
sudah sejak lama mendiami tanah Bima yang umumnya menempati wilayah pegunungan.
Hal ini karena mendapat desakan dari pendatang baru yang menyebarkan budaya dan
agama jauh diluar kebudayaan masyarakat Bima sehingga kehidupan yang mereka
jalani masih sangat jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat Bima saat ini.
Sedangkan kepercayaan asli yang di anut oleh masyarakat Bima adalah kepercayaan
terhadap Marafu (animisme). Meskipun masyarakat Bima selalu kedatangan
orang-orang dari luar untuk menyebarkan agama dan budaya namun mereka sangat
sukar untuk meninggalkan kepercayaan yang telah dianutnya karena kepercayaan
terhadap Marafu ini telah mempengaruhi kehidupan masyarakat Bima. Sekitar abad
ke-15 orang-orang datang dari luar selain untuk menyebarkan agama dan budaya
tetapi salah satunya untuk mata pencaharian. Para pendatang tersebut masih
berasal dari daerah-daerah sekitar seperti Makassar dan Bugis. Orang-orang
tersebut mereka menyebutnya Dou Mbojo (orang Bima). Meskipun satu wilayah
tetapi kedua orang Bima tersebut memiliki bahasa dan adat istiadat yang
berbeda.
B. Filosofi
Kehidupan Suku Bima
Bagi masyarakat Bima berladang atau
bercocok tanam merupakan warisan turun temurun dari para leluhur. Untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan menjauhkan diri dari kemiskinan mereka menggarap
ladang berpindah-pindah dari gunung yang satu ke gunung lainnya. Sebelum
memulai berladang biasanya mereka bermusyawarah terlebih dahulu untuk membahas
pembagian kerja. Kaum laki-laki bertugas menyiapkan seluruh peralatan sedangkan
kaum perempuan bertugas menyiapkan makan dan minum serta menanam di ladang yang
telah digarap oleh kaum laki-laki.
Selain berladang, masyarakat Bima juga
membuat kerajinan tenun. Kain tenun Mbojo merupakan kain tenun khas asal daerah
Bima yang dibuat oleh tangan-tangan perempuan Bima untuk mengisi waktu luang
sembari menunggu suami pulang bekerja. Kain tenun asal Bima ini sudah menjadi
komoditas andalan dalam kegiatan perdagangan di Nusantara. Sarung (tembe),
destar (sambolo) dan ikat pinggang (weri) merupakan beberapa kain yang paling
populer.
Setiap hari Minggu pagi biasanya
masyarakat Bima menggelar permainan balap kuda. Uniknya joki pada pacuan kuda
tradisional Bima ini adalah anak-anak dengan kisaran umur sekitar 7-10 tahun.
Penyelenggaraan kegiatan pacuan kuda tradisional ini setiap tahunnya mampu
menyedot perhatian dan antusiasme masyarakat dari berbagai kalangan. Bahkan,
peserta yang ikut tidak hanya dari Kabupaten Bima, akan tetapi berasal dari
kabupaten-kabupaten lain di sekitar Bima, yaitu: Kota Bima, Kabupaten Dompu,
Sumbawa, Lombok bahkan ada peserta dari Sumba, Nusa Tenggara Timur.
BAB III
TRADISI SUKU
A. Tradisi yang terdapat di Suku Bima
1. Upacara U’a Pua
Dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad
SAW, masyarakat Bima rutin melaksanakan tradisi upacara adat yaitu upacara
Upacara U’a Pua yang berlangsung selama 7 hari yang dirangkai dengan aktrasi
masyarakat Bima. Namun, sebelum memulai pada acara inti masyarakat Bima dan
para tamu melakukan dzikir terlebih dahulu. Pada saat dzikir berlangsung para
dzikir dan tamu diberikan daun pandan yang dicampuri dengan kembang dan
wangi-wangian. Daun pandan tersebut diberikan untuk membuat “bunga bareka”. Untuk
mengawali Upacara U’a Pua ini masyarakat Bima melaksanakan pawai yang diikuti
oleh seluruh masyarakat Bima baik itu Laskar Kesulatanan, Keluarga Istana, dan
Group Kesenian Tradisional Bima yang dimulai dari istana Bima. Group Kesenian
terus memainkan Genda Mbojo, Silu dan Genda Lenggo pada saat pawai berlangsung
dengan dua penari Lenggo yang dilengkapi dengan Upacara U’a Pua. “Sare Pua” dan
Al-Qur’an diserahkan ketika Ketua Rombongan bertemu dengan Sultan.
Gambar 3.1.1. Upacara adat U’a Pua
2. Prosesi
Adat Pernikahan Mbojo
Pernikahan merupakan dua insan yang
saling mengikat janji suci antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan hidup bersama membentuk keluarga. Pernikahan merupakan salah satu
tradisi dan adat istiadat masyarakat Bima yang telah berpadu dari berbagai suku
yang berasal dari daerah-daerah sekitar dan didominasi oleh penduduk imigrasi.
Para pendatang tersebut selain untuk menyebarkan agama dan budaya tetapi juga
sebagai mata pencaharian seperti bertani, berdagang, nelayan atau pegawai
pemerintahan. Namun, untuk berbaur dengan masyarakat asli Bima maka para pendatang
melakukan perkawinan dengan gadis-gadis penduduk asli Bima.
Seiring dengan perkembangan zaman, maka
tak heran masyarakat Bima memiliki beragam kepercayaan yang dianutnya meskipun
sebagian besar masyarakat Bima memeluk agama Islam. Sehingga dalam upacara
perkawinan masyarakat Bima melakukan prosesi berdasarkan syariat Islam.
a. Tahapan
palinga
Tahapan palinga ini merupakan awal mula
dari seoarang pria (jejaka) mencari dan menemukan seorang gadis yang akan
dijadikan istri. Sebelum gadis tersebut bersedia menerima jejaka itu banyak
proses yang harus dilakukan yaitu memberitahukan terlebih dahulu kepada orang
tua kemudian dari pihak keluarga pria memberi utusan kepada orang lain untuk
mecari tahu segala sesuatu yang berhubungan dengan gadis tersebut. Setelah sang
gadis menerima maksud hati sang jejaka maka mereka bersepakat untuk menentukan
waktu yang tepat kapan keluarga dari pihak pria datang ke rumah keluarga gadis
itu untuk melakukan proses peminangan secara resmi.
b. Peminangan
Sebelum menjelang pernikahan keluarga
dari pihak pria beserta rombongan mendatangi kerumah gadis itu untuk mengadakan
pembicaraan yang lebih lanjut mengenai hari, tanggal dan berbagai syarat yang
diperlukan untuk prosesi pernikahan.
Pada acara pernikahan, pertama-tama sebelum
melakukan akad atau pesta(jambuta) di Bima ada istilah Co’i dan Tarima Co’i
merupakan tahapan serah terima mahar yang diawali dengan bertemunya kedua
keluarga yang telah diwakili oleh Ompu Panati atau juru runding keluarga.
Kemudian prosesi penjemputan istri ke rumah orang tuanya yang dibangun oleh
calon mempelai pria dengan diiringi Hadrah Rebana atau atraksi Gentaong.
Untuk menghormati rombongan calon
pengantin pria yang telah tiba dirumah calon pengeantin wanita maka keluarga
dari calon pengantin wanita menyambutnya dengan menaburi beras kuning. Kemudian
calon mempelai pria dipersilahkan untuk menjemput calon mempelai wanitanya.
Lebih menarik lagi ada tradisi balas pantun dianatara kedua calon pengantin
tersebut.
c. Upacara
Malam Kapanca
Upacara malam kapanca adalah uapacara
pemakaian daun pacar yang hanya diikuti oleh perempuan dan dilakukan pada malam
hari dan biasanya berlangsung hingga esok pagi sebelum melaksanakan akad nikah.
Sebelum upacara kapanca dimulai, calon mempelai wanita terlebih dahulu mandi
uap dengan memakai bunga dan rempah-rempah. Kemudian di adakan acara siraman,
dilanjut dengan acara membersihkan, menata dan merias kamar pengantin. Setelah
selesai, barulah upacara malam kapanca dilaksanakan dan pada saat upacara
berlangsung calon mempelai wanita dirias layaknya riasan pengantin. Untuk
pemakain daun pacar tersebut harus berjumlah ganjil dengan maksud sebagai doa
restu agar kelak calon memperlai wanita mendapat kebahagiaan dalam berumah
tangga. Selain itu, upacara ini juga bertujuan untuk memberikan contoh kepada
perempuan yang hadir mengikuti acara ini diharapkan agar segera mengikuti jejak
seperti calon mempelai wanita. Tidak lupa acara ini diberikan nyanyian
tradisional Bima yang diiringi dengan biola dan syairnya pun berupa pantun yang
berisikan nasehat untuk kedua mempelai.
d. Upacara
Wa’a Coi (Antar Mahar) dan Akad Nikah
Pada hari dimana telah ditetapkan
pelaksanaan akad nikah. Keluarga mempelai pria beserta rombongan membawa
perlengkapan yang sesuai dengan syarat yang telah disepakati bersama. Rombongan
datang bersama dengan ketua adat/tokoh kelaurga yang menjadi juru bicara untuk
mewakili orang tua dengan diiringi hadra dan salawat Nabi. Untuk bisa masuk
menuju kediaman mempelai wanita maka rombongan dari calon mempelai pria harus
melewati potongan bambu yang dipegang melintang oleh sejumlah ibu dengan cara
saling mendorong antar kedua keluarga sehingga dari mempelai wanita akhirnya
akan kalah. Bukan hanya itu tetapi dari rombongan calon mempelai pria juga
harus menunjukkan kemampuannya agar bisa masuk dan melanjutkan ke acara akad
nikah.
e. Acara
Tokencai
Acara tokencai adalah penjemputan
pengantin wanita (istri) yang ada di kamar oleh pengantin pria. Namun, sebelum
diperbolehkan masuk kamar terjadi saling balas pantun terlebih dahulu di depan
pintu dan sang suami harus memberikan hadiah untuk istri agak diperbolehkan
masuk. Acara ini dilakukan setelah prosesi akad nikah selesai dilaksanakan
kemudian dilanjutkan acara pesta dan syukuran yang telah disepakati bersama
anatara dua kelaurga. Selain itu, dihari esok masih ada acara yang masih harus
dilakukan oleh pasangan pengantin tersebut yaitu prosesi memandikan pengantin
dengan air doa yang suci dengan harapan semoga mereka tetap bersih dan suci
sebagaimana ketika meraka terlahir di dunia.
Gambar
3.1.2. Pernikahan Adat Mbojo
B. Nilai-Nilai
yang dapat di ambil dari Tradisi Suku Bima
Pada setiap tradisi adat istiadat dan
tatacara masyarakat Bima pasti memiliki nilai luhur masing-masing dalam
kehidupan yakni menjaga serta melestarikan budaya dan tradisi tradisional yang
sampai saat ini masih sangat kental dilakukan pada acara pernikahan dan upacara
adat. Karena masyarakat Bima mayoritas beragama Islam maka pada saat
melaksanakan upacara dan tata cara pernikahan dilakukan berdasarkan syariat
Islam.
Secara umum, pakaian adat Bima memiliki
nilai-nilai ajaran Islam. Pakaian adat bima berfungsi sebagai penutup aurat.
Selain sebagai pakaian sehari-hari busana adat Bima bisa difungsikan sebagai
pakaian ketika melaksanakan shalat.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari uraian yang telah saya bahas diatas
maka dapat disimpulkan bahwa Suku Bima adalah salah satu suku yang letaknya
berada di wilayah kota Bima, provinsi Nusa Tenggara Barat. Selain orang Bima
ada juga para pendatang yang menempati suku Bima untuk mata pencaharian.
Meskipun keduanya menempati daerah yang sama tetapi kedua orang tersebut
memiliki bahasa yang berbeda. Suku Bima ini memiliki beragam keunikan yang
sangat menarik untuk dibahas yaitu pada tradisi dan tataracara yang dilakukan
oleh masyarakat Bima seperti upacara adat atau tatacara prosesi pernikahan
dengan nilai-nilai luhur yang memiliki makna sangat penting pada masing-masing
tradisi.
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar